“Saatnya untuk
mengakhiri semua ini”, tandasnya kepadaku. Tetiba saja Aku dijadikannya seperti
orang dungu, terdiam tanpa gerak pun membisu tanpa suara. Dia bergegas
meninggalkanku dikeheningan lorong waktu yang kelam, masih dalam bisu tanpa
kata, terdiam. Pikiranku berlarian mengejar memori yang bertebaran, berserakan,
berantakan dan antah berantah akibat mendengar pernyataannya kala itu. “Teng….
Teng….. teng….. 4 X”, suara lonceng tanda akan dimulainya pengajian tafsir.
Membubarkan lamunanku, membuatku tergerak untuk mengusap serpihan air mata yang
secara tidak sadar buyar dari sudut mataku.
Hiruk pikuk
suara derapan langkah para santri yang getap untuk bergegas menuju majelis
pengajian, tidak menjadikan langkah ini untuk menyamai langkah mereka yang
penuh semangat, gairah. Entahlah, aku tidak memperdulikan mereka. Kini, masih
hangat di benak pikiranku pernyataan darinya. Masih tidak ku mengerti apa yang
dimaksudkannya. Oh inikah yang di maksud dengan masuk telinga kanan dan keluar
telinga kiri? Bisa saja benar namun sepertinya bukan itu. Ada yang lebih sesuai
dengan kondisiku saat ini.
“Assalaamu’alaikum
Wr. Wb.,” pengajian tafsir baru dimulai. Satu persatu santri mulai berdatangan
ke majelis dengan tergepoh-gepoh terlambat, termasuk diriku sendiri yang sibuk
dalam upaya memahami apa yang dinyatakannya. “Abror, Bayu, Dawiyah,……,” Absensi
kehadiran santri untuk mengikuti pengajian tafsir. Ada satu nama yang ketika
disebut tidak tampak terlihat acungan tangan atau terdengar ucapan “hadir”,
seisi majelis gusar dibuatnya. “Ke mana dia, apakah dia sedang sakit?,” Tanya
Ustadz dengan bijak. Semuanya terdiam. Sampai pada akhirnya secara spontan,
“Dia lagi sakit hati, Ustadz,” Aku mengatakannya. Tidak, tidak. Apa sebenarnya
yang terjadi pada diriku. Bertambah gusarlah seisi majelis pengajian tersebut
karena ketidakjelasan sikap dan ucapanku tadi.
Semenjak hari
itu, tepatnya mulai setelah selesai pengajian, keadaan hidupku bertambah tidak karuan
dan tidak jelas. “Ciyeeeee…. Cieciecie… prikkkittiiiwwww….”, candaan gurau para
santri kepadaku setiap berpapasan di jalan ke sekolah maupun dalam kegiatan
rutin pesantren. Sesekali kulihat wajahnya dari kejauhan, perawakannya sejuk
nan damai. Tidak tampak setitikpun kesedihan atau hal-hal yang kurasakan
sekarang ini. Beban pikiranku bertambah lagi, bukan hanya mencari jawaban
maksud pernyataannya, spontanitas ucapanku saat pengajian, candaan gurau para
santri, namun kini bertambah, mencari jawaban kenapa dia tampak santai, tenang,
sejuk ditengah-tengah keramaian “ciecie…” oleh para santri, atas namanya dengan
namaku? Hmmm….. kiranya hal apa yang pertama harus aku temukan jawabannya?
Baiklah, mulai dari sekarang!
Mengenai
pernyataan darinya kala itu, yang kurasa tanpa sebab-akibat yang jelas, muncul
begitu saja sudah ku dapati titik terangnya dari persoalan ini. Ucapannya
bermakna kekecewaan terhadapku dimasa yang telah lalu. Di suatu pagi, saat
liburan semester, “Hrrrrr…. Hrrrrr….”, disaku kurasakan getaran ponselku tanda
adanya pesan yang masuk. Bukan main, ku terperanjat di buatnya,
“Assalaamu’alaikum Wr. Wb. Mas, perlu kamu ketahui, Hati ini selalu berbicara
mengenai dirimu. Apakah sama halnya dengan dirimu?”. Mas, panggilan asing itu
menjadikan jari jemariku semakin berhati-hati membaca pesan tersebut. Bahkan
karena tidak percaya, ku ulangi untuk kesekian kalinya membaca pesan itu. Ku
dapati pengirimnya adalah dia. Balas membalas pesan cukup banyak memenuhi kotak
pesan masuk, mulai dari hal yang penting sampai kepada yang tidak karuan,
termasuk mengenai pesan pertama yang disebutkan diatas.
Hari yang
ditunggu-tunggu telah tiba, masuk ajaran baru di pesantren. Menjadi kebiasaan,
pada hari dimana awal masuk adalah momentum salam-salaman berjabatan tangan
satu sama lain, santri kepada santri, santri kepada segenap Ustadz, Ustadz
dengan wali santri. Hari pertama adalah hari berjabatan tangan. Pada hari itu
juga, kehidupan di pesantren dimulai kembali. Pernyataan, “Sudah saatnya
mengakhiri semua ini”, diatas adalah tidak bisa balas membalas pesan lagi
karena tidak diperkenankan untuk membawa alat komunikasi di pesantren. Mengajak
untuk fokus belajar di semester baru ini. Ya, begitu kurang lebihnya maksud
dari pernyataannya.
Pesan kirimannya
padaku dan kirimanku padanya merupakan kesalahan yang termasuk sangatlah fatal
dirasakan akibatnya. Tidak jarang, saat di kelas pada jam sekolah, di majelis
dan dimanapun saling lempar senyum seakan-akan sebuah keharusan, menjadi
rutinitas sehari-hari. “Hallooow….., ada apa denganmu senyum-senyum sendiri?”.
Ucap Heru sambil menggoyangkan telapak tangannya persis didepan wajahku. Belum
sempat ku jawab, Heru terlanjur mengetahuinya, aku sedang tukeran senyum dengan
dia disana. “Owh…. Jadi itu penyebabnya?”. Sontak ku terperanjat mendengarnya.
Sambil terbata-bata ku jelaskan apa yang terjadi. Upayaku untuk mengada-adakan
alasan tidak ada efeknya. Kini, bukan hanya tidak berbalasan pesan, senyumanpun
tidak berbalas. Hal itu disebabkan sudah masuknya namaku dan nama dia dalam
buku catatan hitam pesantren.
Sekarang dengan
sangat ku paham dan mengerti yang sebenarnya maksud “mengahiri segalanya” itu
merupakan bagian dari sekian luasnya Hidayah-Nya atas Hamba-Nya yang terkilas
oleh hasutan syaithan, termasuk diriku. Dengan menggalakan semangat 45,
rutinitas keseharianku lebih terarah untuk pengembangan ilmu dan wawasan
pengetahuan. Ya, itu saja bukan seperti yang sudah terjadi di kemarin. Melonjak
tinggi apa yang disebut pencapaian seorang pelajar tulen. Semangat,
sungguh-sungguh, disiplin, bertanggung jawab serta ketekunan dalam belajar yang
tiada habisnya berkobar membara dalam jiwa ragaku sebagai seorang pelajar.
By: Edi Haryadi