Timbul keresahan di hati saya setelah mengamati beberapa fenomena yang terjadi di kalangan para aktivis dakwah kampus. Sesungguhnya, mereka terus bekerja dan bekerja untuk kelangsungan risalah dakwah dengan tetap menjaga manhajnya, profesional, dan kontinyu. Sehingga dakwah ini akan semakin menerangi, diminati dan dirasakan oleh banyak orang.
Namun kini, hal tersebut menjadi sesuatu yang langka menurut saya menemuinya. Yang ada ialah agenda-agenda dakwah menjadi seadanya, terperangkap masalah-masalah pribadi, dan sebagainya. Hal itu hanya menghabiskan energi yang akhirnya sia-sia. Bisa jadi, ini kasuistik di sekitar penulis, tapi bisa jadi juga terjadi di tempat yang lain.
***
Kader dakwah belagu.
Agenda-agenda tarbawi dihadiri hanya sebisa saja. Banyak alasan ini dan itu. Padahal, di sanalah menjadi bagian sarana utama “mengisi” diri. Buku-buku referensi dakwah pun enggan untuk disentuh, apalagi dibaca. Alasannya berat! Ah, belagu!Lantas bagaimana mungkin bisa menjalankan agenda-agenda dakwah secara “benar” sedangkan tujuan, konsep, ide tentang dakwah itu sendiri belum jelas di hati dan kepala para pengusungnya. Benar, kenyataannya yang ada hanya bergerak berdasarkan perasaan yang tidak jelas kemana tujuannya. Para kader dakwah pun akhirnya hanya menjadi kader organisasi dimana ia berwadah. Bekerja hanya sebatas tuntutan program kerja.
Kader dakwah belagu.
Ketika ada hasil keputusan syura’, bukan ditanggapi dengan “Kami dengarkan dan kami patuhi,” tapi yang ada ialah “Kami dengarkan dan buat apa kami patuhi”. Seolah ia orang yang paling benar. Belagu! Berlagak sok kritis, tapi tidak argumentatif. Banyak bicara, tapi tidak berisi. Ngomong-ngemeng tapi tidak ada dasar. Kritis bukan tidak boleh, tapi tetap pada batasnya. Jangan sampai malah menimbulkan keretakan dalam beramal jama’i. Lagi-lagi hanya mengandalkan perasaan, ego pribadi selalu jadi benteng pertahanan. Ia seolah-olah lupa bahwa cara syura’ adalah cara terbaik dalam mengambil keputusan. Buta hati melihat siapa mereka;yang memutuskan. baik secara kuantitas, kapasitas keilmuan, maupun kekuatan ruhiyah, keikhlasan, dan totalitas perjuangannya yang bisa jadi kita sangat jauh dibawah mereka.
Maka seharusnya: Malulah!
Kader dakwah belagu.
Ketika diberi amanah, dijalankan semaunya dan seadanya. Pun, banyak menemukan mereka yang milah milih amanah. Dicari hanya yang sesuai kepentingan pribadi. Mengambil hanya yang mudah-mudahnya saja. Ada suatu amanah dakwah, yang seharusnya ia kerjakan, tapi akhirnya menolak dengan segala alasan yang dibuat. Ketika yang lain mengambilnya dengan gampangnya mengecapnya dengan prasangka negatif:gila amanah, kejar posisi, ingin populer! Naudzbillah!
Kader dakwah belagu.
Giliran kritik mengkritik: nomer satu. Saat diajak kongkrit, selalu terbelakang. Setiap syura’ malah telat. Dan tanpa merasa berdosa hanya bisa banyak berkata “Afwan”. Cek mutabaah amalan yaumiah, ternyata mirip papan catur. Cek masjid sekitar tempat ia tinggal, tidak pernah nongol, juga shalat subuh jamaah.
Kader dakwah belagu.
Saat ada kemungkaran yang meledak, ia hanya mengandalkan sifat reaktif. Lah, kemana saja selama ini? Sudahkah kita berusaha maksimal menggunakan sarana-sarana untuk mencegahnya? Maka yang terlihat hanyalah ia melakukan penghakiman dimana-mana. Ia lupa bahwa gelap itu tidak pernah salah. Yang salah adalah tidak adanya cahaya, sehingga gelap itu datang.
Kader dakwah belagu.
Menggembar gemborkan amal jama’i. Sedangkan ia sendiri membatasi kerja-kerjanya hanya sebatas organisasi atau lembaganya. Padahal kerja-kerja seharusnya ialah kerja yang sifatnya fungsionalitas, tidak berbatas hanya sama organisasi atau lembaga.
Kader dakwah belagu.
Ketika diajak diskusi tentang Islam ataupun tentang dakwahnya maka ia menjadi orang yang malas. Jelas saja karena kini yang ada di kepala mungkin kebanyakan mereka hanya soal lawan jenis: ikhwan dan akhwat. Ada kajian keilmuan Islam juga berat hadir. Wajar kalau diajak bergerak susah…
***
Penulis bisa jadi juga termasuk para kader belagu itu. Sehingga ditulis pun bisa menjadi sarana muhasabah pribadi. Agenda-agenda dakwah akan berjalan dengan baik manakala setiap dari mereka para pengusungnya memiliki semangat, keyakinan terhadap dakwahnya, dan kerelaannya menanggung pengorbanan yang menjadi konsekuensinya. Tidak bisa berjalan jika di isi oleh kader-kader manja, slenge’an. Ditambah semangat untuk terus menambah menggali pemahaman.
Jangan sampai kita hanya menjadi penghambat dakwah. Bahkan lebih kasar hanya menjadi sampah saja yang menyebarkan bau tidak sedap dalam dakwah. Sebaliknya harus menjadi para penggerak. Yang menyalakan cahaya, menghilangkan kegelapan.
Sumber: fimadani/Fardan/princesebi