“Afwan... seandainya ana bisa mencintai anti sepenuh hati,“ gadis cantik yang ada di depanku ketika itu makin deras mengucurkan air mata.
“Jadi… selama ini…??” ucapnya terbata. Tanpa sadar aku melukainya, membuat bahunya tambah berguncang hebat.
“Ana tak bisa bilang cinta… itu resikonya terlampau berat… sedang ana belum melakukan apapun untuk anti… ana belum pernah berkorban sekuat tenaga untuk membantu meringankan setiap beban anti… bahkan dalam setiap sujud belum sekalipun menyebut nama anti dan mengucapkan doa tulus khusus untuk anti… afwan ana harus jujur…” demikian panjang dan lebar aku menjelaskan. Meski, pada akhir pertemuan ada penyesalan yang begitu menyesakkan. Semoga tak pernah terulang di masa depan.
Mencintai adalah sebuah keputusan besar. Demikian kata ust. Anis Matta, di buku Serial Cinta yang belum pernah bosan berulang-ulang kubaca. Beliau mengatakan cinta adalah kata lain dari memberi… sebab memberi adalah pekerjaan… sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat… sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu yang lama… dan pekerjaan berat yang harus ditunaikan dalam waktu yang lama itu hanya mungkin dilakukan oleh orang- orang yang berkepribadian kuat dan tangguh.
Maka beliau mengingatkan, berhati-hatilah saat mengatakan “Aku mencintaimu “. Kepada siapapun. Beliau mengatakan “Aku mencintaimu” adalah ungkapan lain dari “Aku ingin memberimu sesuatu”. Itulah yang sedikit banyak menggerakkanku untuk menata ulang kebiasaan lama yang pernah dengan mudah sering mengatakan “Uhibbukum fillah… aku mencintai antum saudari-saudari ku…”
Aku menginsyafi diri ternyata lebih sering ungkapanku hanya sekedar kata. Sebab jika meraba hati rupanya belum banyak yang kulakukan untuk membuktikan cinta pada saudara-saudaraku seiman. Pada saudara-saudaraku sepergerakan. Pada mad’u yang pernah kupegang. Pada siapapun. Karena ungkapan cintaku butuh pembuktian. Sebab jika tak ada pembuktian, integritas diri bakal menghilang. Tak salah jika akan lenyap rasa kepercayaan. Dan tak ada cinta tanpa kepercayaan.
Mencintai adalah kesiapan untuk memberi. Memberi pertolongan maksimal saat saudara-saudaraku membutuhkan. Dengan ide, tenaga dan isi kantong jika perlu. Memberi pundak untuk bersandar jika mereka mulai merasa lelah dengan segala beban. Memberi pelukan hangat saat mereka butuh untuk dikuatkan. Memberi senyuman semangat meski kadang batin juga sedang terguncang hebat. Memberi kualitas pertemuan terbaik di sela kepadatan jadwal masing-masing. Tak lupa pula, memberi doa terindah dalam sepi di setiap sujud panjang di hadapan Rabb kita. Demikian sederet pembuktian yang mungkin bisa dilakukan saat aku mengatakan pada mereka “Uhibbukum fillah”. Tak pantas kiranya jika aku hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun.
Itu yang pada akhirnya membuatku lebih berhati-hati untuk tidak mengumbar deklarasi cinta belakangan ini. Aku menggantinya dengan “I’ll try to love you…hardly”. Dengan harapan, aku berazzam untuk tidak berhenti berusaha mencintai saudara-saudara seiman dengan sepenuh hati. Dan yang terpenting, mencintai mereka dengan sepenuh bukti.
Hingga besar harapan termasuk golongan yang disebut dalam sabda Sang Nabi ini.
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan Nabi, tetapi para Nabi dan Syuhada merasa cemburu terhadap mereka. Ditanyakan : “Siapakah mereka? Semoga kami dapat mencintai mereka. Nabinya menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena cahaya Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka tidak takut di saat manusia takut dan mereka tidak bersedih di saat manusia bersedih.”.
sumber: bersamadakwah
editor: princesebi