Di malam pertama Shilah dan Mu’adzah, keluarga telah menyiapkan rumah dan kamar yang dihias begitu indah. Harum wewangian bukan hanya memenuhi kamar pengantin, tetapi juga memenuhi seluruh rumah. Rumah itu benar-benar disiapkan untuk malam pertama.
Dua insan itu telah berada di bawah satu atap. Hanya mereka berdua di sana. Shilah pun mengucapkan salam kepada Mu’adzah, kemudian ia melaksanakan shalat sunnah. Melihat suaminya shalat, Mu’adzah juga menunaikan shalat. Kedua orang yang terkenal sebagai ahli ibadah itu asyik dengan shalat sunnahnya. Raka’at demi raka’at. Salam demi salam. Mereka tenggelam dalam kekhusyu’an dan nikmatnya ibadah malam. Tak terasa, fajar pun hampir menyingsing. Ketika Subuh tiba, mereka baru menyadari bahwa mereka baru saja menghabiskan malam pertama dengan qiyamullail.
Entah pada hari keberapa, mereka akhirnya menunaikan ‘malam pertama’ yang tertunda. Dan Allah kemudian mengaruniakan putra. Yang pasti, hari-hari yang dilalui pasangan suami istri itu dipenuhi dengan qiyamullail. Sangat sedikit mereka tidur.
“Wahai jiwa,” kata Mu’adzah seperti diabadikan Syaikh Ahmad Khalil Jum’ah dalam Nisa’ min Ashrut Tabi’in, “kesempatan tidur memang ada di depanmu. Jika engkau mengambil kesempatan itu, sesungguhnya engkau akan tertidur panjang di alam barzah kelak. Tapi engkau tak tahu, apakah tidurmu itu bersama penyesalan atau kebahagiaan.”
Kesungguhan Mu’adzah dalam ibadah, bahkan pada saat malam pertamanya, membuahkan karamah. Ibnu Hajar Al Asqalani mengisahkan dalam Tahdzibut Tahdzib, ketika ada seseorang dari Basrah datang kepada Mu’adzah, saat itu Mu’adzah sedang sakit perut. Ia sudah tidak memiliki siapa-siapa karena suami dan anaknya telah syahid dalam perang sebelumnya. Mengetahui Mu’adzah sakit, orang Basrah ini membuatkan obat yang terbuat dari sejenis khamr. Ia pernah diberitahu bahwa obat tersebut bisa menyembuhkan sakit perut seperti yang diderita Mu’adzah.
“Ya Allah, jika benar pesan ummul mukminin Aisyah bahwa Rasulullah melarang meminum sejenis khamar ini meskipun untuk berobat, maka sembuhkanlah aku tanpa meminumnya.” Ajaib, begitu Mu’adzah berdoa, tumpahlah gelas beserta seluruh isinya, dan Allah pun menyembuhkan penyakitnya. [Abu Nida/zilzaal]